Langsung ke konten utama

Harus Kaya




Suatu saat saya bertemu seorang kawan di rumahnya, sambil bersilaturahim saya ingin mengajaknya berbisnis.

"Pak, ayo pak ikut bisnis dengan saya,".

"Saya tidak mau, pak,". jawabnya mantap.

Kemudian saya tanya, "Kenapa?,".

Jawabnya, "Saya takut kaya,".

Saat itu saya kaget, ternyata ada orang yang takut kaya. Dia sangat faham kalau menjalankan bisnis resikonya adalah kaya.

Lalu saya bertanya, "Kenapa anda takut kaya?,".

"Saya takut hubbud dunya, saya takut cinta kepada dunia,".

Dalam hati saya, luar biasa kawan saya ini, dia orang yang sholeh. Dalam hati saya berdoa,"Ya Allah, orang sholeh seperti inilah yang seharusnya kaya,". karena kalau kekayaan dipegang orang yang sholeh.. InsyaAllah rahmatan lil alamin. Tapi sayangnya orang sholehnya tidak mau kaya, oarang kayanya tidak mau sholeh.

Kemudian saya bertanya, "Apakah hubbud dunya penyakitnya orang kaya saja?,". Tidak! orang miskinpun banyak yang menderita penyakit hubbud dunya. Masalahnya bukan di kaya atau di miskinnya, tapi bagaimana kita bersikap terhadap kekayaan. Dengan alasan inilah banyak umat islam yang tidak mau bekerja keras, tidak mau berusaha menjadi orang kaya, tidak mau menjadi orang besar.

Umat Islam terlalu besar untuk punya cita-cita kecil. Umat Islam harus kaya seperti kayanya Abu Bakar As Siddiq, seperti kayanya Umar Bin Khattab dan seperti kayanya Ustman Bin Affan. karena kekayaan merekalah Islam bisa berjaya.

Rasulullah mengajarkan kita untuk berdoa, "Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kekufuran dan kekafiran. Aku berlindung darimu dari azab kubur,".

Yang jadi masalah bukan seberapa banyak kita mendapatkan uang, tapi uang itu dari mana dan untuk apa. kata Rasullulah, "Kita tidak boleh iri, kecuali kepada 3 orang. pertama orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya, kedua orang yang mati syahid, ketiga orang yang kaya yang dermawan,".

Ingat kita adalah harapan masa depan umat, bangkit mulai sekarang! harapan pasti ada, Allah bersama kita.




Bagus Hernowo.


Image by : Rishikeshan Pangushan

Komentar

7 Hari Banyak Dilihat

Sepuluh Tahun Lalu

  Hmm, saya mau berterima kasih kepada diri saya sendiri, sepuluh tahun lalu tentang; 1. Terima kasih banyak atas keyakinanmu menentukan pilihan. 2. Terima kasih banyak atas keberanianmu mencoba banyak hal baru, mesti terkadang agak sedikit kecewa dengan hasilnya, tapi tak ada penyesalan. 3. Terima kasih banyak karena telah menjaga dirimu dengan baik, sampai akad mempertemukan belahan jiwamu. 4. Terima kasih banyak karena telah memberikan sahabat yang menerima siapa dirimu. Tidak banyak memang, tapi mereka tulus berteman denganmu. 5. Terima kasih banyak atas dimulainya kebiasaan 'uzlah'mu dari hiruk pikuk dunia di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Terima kasih banyak ya! Terima kasih, terima kasih. Masih banyak yang belum disebutkan, tapi kirinya cukup demikian saja yang perlu diceritakan. See ya!

Siapa?

Ini pertanyaan menarik, dan saya sudah selesai dengan diri sendiri sejak umur 20-an. Saya juga sempat 'galau' ketemu orang takut, minder, tidak percaya diri di usia sehabis menyelesaikan pendidikan formal di Madrasah Tsanawiyah. Terus gimana caranya? Mulai dari pertanyaan, kita ini siapa dan mau kemana? Dan saya akhirnya menjalani apa saja yang ada di depan saya saat itu, apa saja. Beneran. Pada suatu titik saya menemukan apa yang saya sukai, lalu tekuni. Karena setiap kita punya kecenderungan, ini sudah ditulis sebelum kita lahir, jauh disana.   Dan saya tercerahkan dengan penjelasan 'seseorang' dengan perkataan ini :   Kita mau menghadap Tuhan nanti sebagai apa? Presiden? Orang yang mengambil tanggung jawab dalam keluarga ? Orang yang mengurusi urusan orang banyak? Orang biasa saja yang penting tidak merugikan orang lain? Dan lain seterusnya…. Udah, gitu aja. 😌

Lima

Aku tidak mau menganiaya diriku sendiri, maka aku datang kerumah-Mu.. Aku tidak mau menganiaya diriku sendiri, maka aku selalu berusaha prioritaskan pertemuan dengan-Mu.. Meski Sang Penipu berbisik dengan lembut.. Meski dengan cantik disisipkan rasa jenuh.. Aku tidak mau menganiaya diriku sendiri, maka aku memohon rahmat dan ampunan-Mu.. Karena aku tahu, aku bukan apa-apa tanpa-Mu.. Inspired by : Khatib Image by : Mike Robinson

Wejangan Pernikahan

  Nikah bukan sekedar nikah, bukan sekedar melepas bujang, mengganti status. Ada yang harus diperjuangkan dalam menikah. Harus semakin dekat dengan Allah, kalau semakin jauh dalam pernikahan harus dievaluasi pernikahannya. Semalam sebelum akad beberapa tahun ke belakang, kalimat diatas masuk ke aplikasi pesan dari seseorang. Sebuah bekal, yang ternyata sampai saat ini tetap relevan. Karenanya saya teruskan, baik untuk yang belum dan sudah mengarungi bahtera pernikahan. Karena dalam pernikahan, semua pasangan punya ujian. Dari harta, anak, orang tua, mertua, saudara dan lain sebagainya. Bahkan, termasuk diri sendiri juga ujian bagi pasangan. Maka harus melihat akhirnya, in the end. Makin dekat atau malah menjauh dari-Nya. Jadi, bagaimana?

Jum'at Terakhir

Pernah liat atau dengar ceramah, nasihat, booster, mungkin lagi scroll timeline terus isi materinya itu kita banget, di momen memang kita membutuhkanya? Pernah kan ya? Saya yakin 100 persen jawabannya pernah. Karena memang sesayang itu Dia, ngasih tanda dimana - mana. Dan itu termasuk nikmat dari-Nya juga. Persis seperti isi khutbah Jum'at kemarin, tumben sekali saya tidak micro sleep terus jadi deep sleep. Bahwa kalau kita menghitung nikmat-Nya, tidak akan pernah ada hasil dari jumlah bilangannya. Kalau pun lautan menjadi tinta, dan ranting-ranting pohon di seluruh dunia ini menjadi pena. Terus kenapa title post ini Jum'at Terakhir? Karena saya sudah lama tidak mendengar perkataan imam Jum'at yang berkata sebelum shalat dilaksanakan : Lurus dan rapatkan shaf, Jum'at ini, Jum'at terakhir kita. Semua jamaah terdiam, bahkan anak - anak kecil yang biasanya punya 'kegiatan tersendiri'. Tidak ada kegiatan di momen itu, khusyuk. Mungkin perkataan Jum'at Terakh...

Melibatkan-Nya

  Berdagang, bekerja adalah sarana melatih tawakal. Menceburkan diri kepada ketidakpastian, mau tidak mau akan mencari tempat bergantung, berkeluh. Mereka yang nekat berdagang, tekun bekerja, berani merelakan tabungannya, akan ketar - ketir lalu khusyuk berdoa. Momen kelemahan, keberserahan ada di dalamnya, hal - hal diluar kendali yang membuat kita mau tidak mau melibatkan-Nya. Pernah, Ndri? Sering! Haha.

Terima Kasih

Hamba tahu, Tuan.. Dihadapan-Mu tidak ada kemustahilan.. Hamba juga sangat mengerti, tapi tetap saja iri.. Karena kekasih Tuan sudah meninggalkan perkataan abadi.. Iri tidak diperbolehkan kecuali terhadap dua orang.   Hamba juga tahu diri, seberapa kapasitas yang hamba miliki.. Betapa banyaknya kesalahan - kesalahan, yang hamba ketahui dan tidak disadari.. Jadi, Tuan.. Terima kasih.