Masih ngomongin outfit, jauh sebelum ada trend bahwa celana cingkrang dinisbatkan ke kelompok tertentu, saya sudah menyukainya.
Kenapa?
Waktu itu, awal saya masuk Tsanawiyah. Masih banyak lalainya, haha hihinya. Lagi nongkrong di pertigaan jalan, dari Ashar menjelang Maghrib. Eh, tiba - tiba disambangi pria bersurban, dengan yak memakai celana agak cingkrang.
Tapi, raut wajahnya teduh. Ramah full senyum. Nggak kek sekarang, eh. Nanti saya jelaskan di bawah hehe
Pria bersurban ini saya tahu belakangan, bagian dari usaha dakwah Jama'ah Tabligh. Iya, saya tersentuh dengan model penyampaiannya.
Skip, mulai dari situ saya suka celana cingkrangnya, ringkas dan nggak ribet sepertinya.
Pernah setelah usia lulus Tsanawiyah saya pengen model celana saya cingkrang semua, kebetulan ibu saya penjahit, juga guru di sebuah tempat kursus jahit menjahit di Jakarta. Jadi gampang kan? Tinggal potong saja kelar urusan.
Eh, tapi karena waktu itu, stigma celana cingkrang lekat dengan 'teroris radikalis'. Ibu saya tidak membolehkan.
Waktu itu juga saya lagi semangat banget jadi 'keyboard warrior'. Sampai bikin website untuk menangkal propaganda segala, ala saya. Wkwkwwk
Lalu, saya jatuh hati pada celana sarung, karena dibolehkan. Jadilah antara 2015 - 2018 saya jadi duta sarung nasional ( self proclaimed ). Padahal bukan santri pondok pesantren manapun.
Dan akhirnya, setelah menikah. Saya di make over ala istri pelan - pelan dan jadilah saya kemana - mana pakai celana cingkrang.
Bukan karena jadi golongan, bagian kelompok tertentu. Yang kadang salah sangka juga dengan saya. Saya senyumin, eh nggak senyum balik. Pahit bener hidup haha.
Tapi ya, intinya selain celana sarung yang tinggal dua, saya punya enam celana cingkrang.
Dah gitu aja.
Foto : Model majalah yang tidak pernah terbit.
Komentar
Posting Komentar